Pada sisi yang
lain, Chamal mencoba menulis puisi dengan cara yang berbeda. Yakni dengan cara
tidak menggunakan bahasa figuratif dalam carik-carik puisi yang ditulisnya,
semisal mungkin pada suatu ketika dia duduk-duduk di teras rumahnya, entah di
kursi atau apa saja yang ada di situ. Atau barangkali dia lagi menatap ke arah
luar, kita tidak tahu apa yang ada di hadapannya pada saat itu. Boleh jadi
seorang gadis cantik atau seorang pelacur tua, bahkan seorang pengamin yang
sambil mengerang dengan suara yang makin parau. Entah terpesona atau tidak?
Pada saat itulah,
seorang Chamal mungkin yakin ada sebuah pengalaman yang dengan cepat berubah
pula pada dirinya. Ingatan dari sebentuk pengalaman itulah, sebagai penyair ia
merasa hatinya tergedor untuk melampiaskannya dalam puisi. Ketika cinta telah
memainkan cuaca tak ada yang bisa menyapanya, kecuali membiarkan rindu terus
mengalir lewat kata-kata yang semakin gelisah.
Melangkah
dengan mengemban luka, ibarat berjalan tanpa alas kaki di tengah gurun sahara.
Bukan patah hati yang kusesali, tapi bahagiamu yang sudah bukan aku lagi. Aku
seperti berada di ruang kedap, berteriak tiada mendengar, menangis tiada
peduli. Hati bertanya, mengapa semua ini terjadi?
Remuk
redam yang kuterima ini hampir menghancurkan seluruh impian besarku, semua
rencana denganmu harus pupus. Bagai sehelai ranting kering yang menunggu hujan,
namun harus jatuh terhempas ketika angin menerjang.
Aku
akan memiliki jeda panjang tanpamu, menjalani hari-hari yang akan begitu
merepotkan, menikmati segelas air tanpa rasa, atau menunggu matahari tenggelam
di rusuk ancala. Mungkin butuh waktu lama untuk pulih, atau bahkan tentangmu
tidak akan pernah selesai aku tulis. Di halaman terakhir ini pun aku merakit
semua kata yang aku punya, agar terlihat seolah baik-baik saja, karena aku
percaya, puncak dari rasa adalah rela.
Biarlah
yang tersisa darimu hanyalah kenangan, Aku akan berdamai dengan kenyataan,
meski sejatinya kehilangan tidak pernah menyenangkan.