TAK ADA KEHILANGAN YANG MENYENANGKAN


Cinta terkadang memunculkan rumus-rumus kehilangan, ketika tanda baca "kita" sudah tidak menemukan premis yang "sama". Bahkan, dalam sejarah patah hati manusia, yang abadi hanyalah luka.


Menikmati Nikmatnya Sakit pada Kubangan rindu

Oleh : Ibnu Hajar


 “Jika Tuhan saja Tersenyum ketika menciptakanmu

Maka aku bisa apa Selain jatuh cinta”

( Ibnu Hajar )

 

Sastra (puisi) erat kaitannya dengan simbol-simbol yang ada dalam masyarakatnya. Oleh karenanya betapa pentingnya metafor dalam sebuah puisi, selagi sebuah kata atau kalimat mengacu pada makna di luar pengertiannya menurut kamus. Hal ini yang ingin ditunjukkan bahwa ternyata tak ada rindu tanpa kata, tak ada cinta tanpa rasa dan tak ada cinta dan rindu tanpa mengalir pada kata-kata. Walau tak banyak yang mengatakan bahwa karya sastra (puisi) tidak dapat dipahami dan diteliti lepas dari konteks sosial kemasyarakatan yang bersangkutan.

Namun hal ini sangat dominan dalam menentukan keberhasilan dalam proses pemahaman, karena bagaimanapun dengan lihai melengkapi itu semua dalam racikan puisinya sehingga nyaris membangun sebuah monomen dari proses cinta, baik yang vertikal maupun horizontal pada puisi. Dan hal itu berkaitan pula dengan fungsi estetis yang kemudian berlanjut pada proses balik terhadap fungsi-fungsi sosial yang lain.

Akibatnya, kehidupan ”bara” dan ”belantara” yang penuh sesak dengan perkelahian dan air mata, bahkan cinta, dendam dan ancaman nyaris menjadi ajaran yang tidak ternafikan. Kehidupan layaknya neraka yang tidak lagi mampu memberikan kebahagiaan dan ketenangan.

                Dan, seorang Chamal Musthofa hadir menawarkan keindahan hidup yang sejati, yang harus dijadikan sebagai solusi. Keindahan sastra (puisi) bisa menjadi pelipur lara dan mengobati segala ketakutan yang mencekam, serta memadamkan bara sosial yang dahsyat dengan mengusung selaksa cinta.

Dalam kumpulan puisinya ”Tak Ada Kehilangan Yang Menyenangkan”  ini Chamal Musthofa telah mencoba mengusung lanskap dari kehidupan yang dia jalani atau yang dia rekam dalam pertarungan di antara bilur-bilur nafas yang semakin sengal dari kehidupan yang nyaris tanpa semerbak.

 

“Senyummu berhasil aku bawa, sebagai tanda aku pernah melihatmu. Setidaknya ada yang bisa kuajukan kepada Tuhan, ketika bersimpuh di peraduan” (pertemuan tanpa sengaja)

 

Sangat terasa dari puisi di atas  kegalauan imagi yang bisa kita tangkap dari sosok Chamal Musthofa dalam menyikapi dialektika cinta dan kehidupan barangkali tak berlebihan kalau ia menuliskannya dalam puisi yang berjudul Getar:

 

Gema ingat pada sebuah kisah

Nyata menyapa dalam tepi langkah

Tentang sepasang merpati indah

Yang bertemu setelah sekian lama terpisah

 

Rindu kembali meriah

Cinta kambali merekah

 

Dari cara memandang persoalan cinta, sebagai sebuah lukisan besar yang barangkali ”mistis” seakan kita diajak untuk ikut terlibat di dalamnya memasuki sebuah dimensi petualangan gairah serta pemikiran. Tentu saja untuk menangkap dan memahaminya kita harus membolak-balik wilayah-wilayah imagi yang ada dalam lembar-lembar pengembaraan kata yang lahir.

Namun lebih dari itu, rasanya terlalu berlebihan kalau kita mencoba memahaminya bahwa ternyata banyak catatan cinta yang tercecer dari puisi-puisi yang ditulis dalam kumpulan puisi ini. Sebab, kadang kita dihadapkan dengan estetika kata yang cenderung tidak mampu mewakili dimensi rindu yang dilemparkan pada belantara kata yang semakin menggeliat dari sebuah kesenyapan nuansa, kita amati pada puisi yang berjudul ”Hujan Yang Jatuh” :

 

Hujan tengah jatuh

Di langit matamu yang subuh

Aku tidak akan berteduh

Agar rindu-rindu tetap tumbuh

Biarkan tetesannya terus menggenangi

Membentuk sebuah kolam bernama hati

Kelak, ketika engkau memilih pergi

Aku akan menenggelamkannya tanpa harus kutangisi

Namun jika kamu betah tinggal

Akan kusiram setiap tanggal

 

Kematangan Chamal Musthofa dalam membangun universalitas imagi di dalam puisinya terasa menorehkan sebuah sketsa yang tak bisa diinterpretasi dengan kamus apa pun. Ada distorsi imagi ketika kita mencoba mengusung sejumput rindu dari pengulangan-pengulangan kenyataan dalam perjalan hidup. Tapi torehan sejarah panjang untuk menatap sebentuk harapan terasa sulit terungkap walau dengan keteguhan kata, loncatan-loncatan kalimat yang barangkali bisa juga tak mampu menampung air bah dari sebuah kata ”cinta” yang diusung Chamal. Tidak berlebihan jika Rendra pernah berucap ”bahwa kemarin dan hari esok adalah hari ini.” dan hal itu kita bisa temukan pada puisi yang berjudul : ”Pelangi di Ujung Senja”

 

Jatuh cinta denganmu adalah tatakrama paling aku pelajari, setiap malam aku baca dengan sangat hati-hati. Melafadzkan satu persatu hal terindah dari wajahmu, menghafal senyummu, menyimpan rapat-rapat tatapanmu dalam kantung labirin, sampai aku tak sadar bahwa yang aku lukis adalah wajahmu yang kemarin.

 

Lalu waktu nyerbu rindu begitu cepat, digoyah oleh keindahan rona matamu yang begitu memikat. Aku seperti orang yang tak pernah kehilangan alamat, sebab wajahmu adalah peta keselamatan, serumit apapun aku tersesat, akan selalu ada jalan pulang kepadamu.

 

Banyak pula puisi yang bisa kita temukan dalam kumpulan puisi ”Tak Ada Kehilangan Yang Menyenangkan”, apa yang kita sebut enlight. Yaitu sebuah puisi yang mencerahkan di mana banyak juga kita temukan puisi-puisi Chamal mampu memberikan sensasi rasa nikmat kepada pembacanya sekaligus membuka ruang imagi yang seluas-luasnya untuk menciptakan jalan panjang dari sebuah proses internalisasi. Hal itulah yang bisa menjadikan kita tergila-gila untuk waktu yang sangat lama, pada tarian-tarian kata yang dibingkai walaupun hanya dengan secuil rindu.

 

Detak jantungku mulai gemulai, menyanyikan namamu tanpa petikan gitar

Di antara waktu dan rindu adalah kirab

Semakin lama semakin akrab

 

Lebih dari sekadar kuntum mawar

Kamu serupa udara yang kuhirup agar dadaku terus berdebar

Setiap hari menyelamatkanku dari kematian, membuatku sanggup menjalani rindu seharian

…………………………………….

( Notif )

Betapa pentingnya metafor dalam sebuah puisi, selagi sebuah kata atau kalimat mengacu pada makna di luar pengertiannya menurut kamus. Hal ini yang ingin ditunjukkan bahwa ternyata tak ada rindu tanpa kata, tak ada cinta tanpa rasa dan tak ada cinta dan rindu tanpa mengalir pada kata-kata. Seorang Chamal telah dengan lihai melengkapi itu semua dalam racikan puisinya sehingga nyaris membangun sebuah monomen dari proses cinta, baik yang vertikal maupun horizontal.


 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama